21 Juni 2014 pukul 2:36
oleh Bunda Rara

Aku ingat ketika putri kedua kami
lahir, dan kami pindah ke rumah ini, sekitar tujuh tahun yang lalu.
Ardi sendiri yang menanam pohon pohon cemara itu di sepanjang jalan
masuk dari pintu pagar ke pintu depan. Dia sendiri yang menyiram
tanaman itu pagi dan sore, memberinya pupuk. Hingga pohon-pohon itu
tumbuh pesat dan kini sudah setinggi hampir tiga meter. Ketika aku
bertanya mengapa dia begitu menggemari cemara, dia hanya tergelak dan
mengacaukan rambutku dengan sayang. "Aku suka desaunya kala terayun
angin, seperti menyenandungkan melodi yang sangat indah."
"Ah...bukannya
Papa pernah punya gadis bernama cemara?" Godaku sembari bergayut di
lengannya. Ardi tertawa dan mengecupku lembut. "Apaan sih Mama ini?"
Dikecupnya puncak hidungku. "Kalaupun gadis itu pernah ada, semua sudah
terkubur dan tak akan muncul lagi, Adellina Ardi adalah satu-satunya
wanita yang memiliki seluruh hidup Ardi sekarang dan selamanya."
***
Mengingat
begitu berartinya ritual itu baginya, aku sempat terperanjat ketika
sore itu sepulang kantor, Ardi mengajakku dan dua putri kami untuk
menghabiskan senja di salah satu kafe dekat perumahan kami.
"Ritual
soremu?" Tanyaku sembari melepaskan dasinya. Kupandang lekat-lekat
matanya. Tetapi Ardi menghindar sembari mendaratkan kecupan ringan di
keningku.
"Aku mandi dulu yang Say, tolong siapin anak-anak...pengen banget malam ini kita habiskan di luar."
"Kamu
gag capek?" Keluhku sembari membayangkan sia-sianya aku
pontang-panting menyiapkan makan malam kami. Aku bukan seorang istri
yang jempolan di dapur, masakanku lebih sering disebut parah daripada
menggugah selera. Pada salah satu titik, timbul juga keinginanku untuk
menjadi istri dan ibu yang jempolan di dapur. Karena itu tadi siang
sepulang menjemput anak-anak dari sekolah, aku mampir ke salah satu
swalayan dan memilih bahan-bahan terbaik untuk membuat sup sehat ala
resto. Sup itu sudah matang, dan aku juga sudah menggoreng beberapa
potong ayam goreng (yang ini jelas buatan warung langgananku). Sayang
sekali kalau makan malam itu batal kami nikmati.
"Kita makan
sedikit saja di luar. Biar masakanmu tidak sia-sia. Oke?" Ardi
tampaknya bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum tipis. Apalagi yang
bisa kukatakan?
***
"Mama...lihat Ma....orang itu
masih berayun di sana!" Prita, putri kecilku, menunjuk seorang
perempuan berpakaian kotor dan bertampang kumal yang berdiri di pintu
pagar kami. Entah apa yang ada di pikiran perempuan itu, dia
bersenandung kecil sembali berayun-ayun seolah sedang menidurkan seorang
bayi. Kedua tangannya berpegangan pada jeruji pagar, dan sorot matanya
kosong memandang ke halaman depan rumah kami.
"Bukan orang itu,
Prita." Tegurku pelan. "Ibu itu sakit, mungkin dia lapar. Coba
ambilkan roti coklat di meja, masih ada kan?"
"Ada Ma...biar aku
yang kasih..." Adel, putri sulungku yang menjawab. Ketika dia akan
melangkah keluar pintu depan, tiba-tiba langkahnya terhenti. "Dia nggak
apa-apa kan Ma?"
"Kenapa emangnya?" Sergahku heran. "Dia sakit,
tapi tampaknya dia tidak berbahaya." Adel tertawa kecil. Lalu
melanjutkan langkahnya. Sementara Prita malah menggulung dirinya di
balik tirai. "Kenapa denganmu Prit?"
"Kenapa emangnya?" Prita
menirukan ucapanku sembari tersenyum lebar. "Mbak Adel pasti menyesal
sudah mendekati orang gila itu!"
Dari jauh kami melihat Adel
mendekat ke pintu pagar, mengulurkan tangannya yang memegang roti coklat
itu ke arah perempuan itu. Perempuan itu tampak menyambut lalu tertawa
lebar. Adel melangkah mundur, bersidekap dan memandang takjub pada
perempuan itu. Sesaat kemudian dia kembali ke beranda depan.
"Perempuan itu cantik, Ma. Setidaknya, dulu dia adalah seorang wanita cantik."
"Siapa
yang cantik nih?" Tiba-tiba saja Ardi sudah berdiri di belakangku,
memeluk pinggangku dan mendaratkan kecupan di puncak kepalaku. "Mama
kalian ini wanita paling cantik di dunia."
"Uh...Papa lebay!" Adel menggerutu pendek. "Jadi makan di luar Pa?"
"Jadi dong...Papa sudah keren begini..gimana sih?"
Koor
sumbang kedua putriku menyambut kalimat terakhir Ardi. "Nanti kita
bungkuskan nasi untuk Ibu itu ya Pa?" Tanya Adel pada ayahnya. "Kasian
dia, tadi cuma ada sepotong roti coklat kecil...kecuali...Mama
mengizinkanku memberikan sepotong ayam goreng padanya." Adel melirikku
dengan tatapan menggoda.
"Ibu?" Ardi menggedikkan bahunya ketika
Prita menunjuk sosok wanita di pintu pagar itu. "Kenapa tidak minta Pak
Budi mengusirnya? Bahaya tuh!" Aku memandang suamiku dengan sorot
heran. Tentu saja aku terheran-heran, karena nada ucapannya sama sekali
tidak menunjukkan bahwa dia keberatan dengan keberadaan perempuan itu
di pintu pagar rumah kami. Dia seperti melamun. Dan aku terkesima
ketika mendapati telaga kelam itu muncul di sepasang mata suamiku,
telaga kelam yang biasanya hanya muncul ketika dia menikmati ritual
sorenya di beranda depan. Kutarik lengan kirinya lembut.
"Papa baik-baik aja?"
"Heh."
Ardi seperti tergugah dari satu episode mimpi yang membuatnya gamang.
Senyum hampa tersungging di ujung bibirnya. "Sepertinya lebih baik kita
makan malam di rumah saja. Tiba-tiba saja perut Papa berasa penuh."
Tanpa menunggu persetujuan kami, Ardi berbalik ke arah kamar, sejenak
kemudian terdengar suara pintu kamar mandi dihempaskan, diikuti suara
air kran yang diputar penuh. Aku mengangkat bahu. Sungguh janggal
sikap suamiku.
"Sudah...ganti baju gih....kita siapkan makan
malam." Dengan lembut kuusap kepala Prita yang tampak sedikit kecewa.
"Setidaknya, kita tidak harus tidur dengan perut kekenyangan kan...."
"Heran...Papa
itu aneh...Papa sendiri yang ngajak kita keluar, giliran kita udah
siap...eh...malah Papa yang mutung." Adel mencibirkan bibirnya dengan
gemas. "Gak biasanya Papa seperti ini."
***
"Kenapa
dia masih ada di situ?" Ardi melepaskan dasinya dengan sekali sentak,
akibatnya, tanganku yang sudah terulur untuk membantunya melepaskan dasi
seperti tertampar. "Belum diusir sama Pak Budi?"
"Sudah...tadi
pagi sudah digiring ke luar perumahan sama Pak Budi dan Pak Ikrom. Tapi
sore tadi waktu Mama siram tanaman, dia sudah ada di sana lagi.
Berayun-ayun dalam dunianya sendiri."
"Huft!" Ardi seolah
mengeluh putus asa. "Biar Papa telpon sekuriti komplek. Gak bisa dong
orang gila seperti itu dibiarkan masuk perumahan kita."
"Biarin
aja kenapa sih Pa? Toh dia tidak berbahaya. Kasihan dia." Aku
teringat mata perempuan itu yang kosong, senyum yang tak pernah lepas
dari ujung bibirnya, dan senandung kecil tanpa arti yang mengiringi
gerakannya mengayun tubuh. Entahlah, ada rasa iba yang sangat dalam
menyeruak hatiku. "Mama kasihan padanya. Sepertinya....sepertinya dia
punya masa lalu yang indah, tetapi masa lalu itu dirampas dari hidupnya,
hingga dia jadi seperti sekarang ini."
Ardi diam tak menjawab.
Sesaat kemudian dia sudah menghilang dalam kamar mandi diiringi suara
pintu yang berdebum. Aku mengangkat bahu sembari mengeluh pendek.
Tidak biasanya suamiku seperti ini.
***
Siang ini terasa begitu lengang dan sepi. Beberapa kali aku mengirim pesan ke teman-teman bbm
ku. Tetapi satu pun tak ada yang membalas. Mungkin mereka semua
tengah sibuk. Sedangkan aku...seperti biasa, sudah menyiapkan makan
siang sederhana. Nasi putih yang masih mengepulkan uap panas, semangkuk
oseng buncis manis, tempe goreng crispy, ayam goreng kesukaan
anak-anak, dan krupuk. Cukup tahu saja, yang benar-benar hasil karyaku
adalah nasi putih dan tempe goreng crispy. Lainnya, hasil kerja warung
langgananku. Karena itu waktuku lebih banyak kosong.
Aku membuka
pintu depan, meletakkan tubuhku di kursi beranda. Memandang pucuk-pucuk
cemara yang bergoyang manja. Dan pandangan mataku terhenti di pintu
pagar. Perempuan itu kembali lagi. Ya ampun! Aku menghela napas
panjang lalu membuangnya keras-keras. Sudah empat hari ini Ardi
uring-uringan. Setiap kali dia pulang, ritual sorenya yang sangat
berarti itu tak lagi menarik baginya. Dia memilih untuk segera mandi
dan menikmati kopinya sembari nonton televisi. Alasannya, perempuan di
pintu pagar itu membuatnya muak.
Takjub aku memandang sosok
perempuan yang berayun di pintu pagar itu. Entah bagaimana caranya, dia
bisa kembali ke pintu pagar rumah kami. Padahal tadi pagi Pak Ikrom
dan salah satu sekuriti komplek sudah mengusirnya keluar perumahan. Aku
berpikir tentang dinas sosial, lalu menghela napas panjang. Ah, masa
iya mereka mau menerima perempuan seperti ini? Kalau memang dinas
sosial mau menerima dan merawat mereka, tentu tak ada satu pun orang
gila yang berkeliaran di kota ini.
Tanpa kusadari, aku sudah
berdiri dari kursi beranda, seolah ada kekuatan yang sulit kulawan yang
membawaku melangkah mendekat ke pintu pagar, tepatnya, ke arah perempuan
yang tengah berayun di sana. Dan di sinilah aku, berdiri hanya sekitar
lima puluh sentimeter dari perempuan itu. Menatap lekat wajahnya yang
kotor, menatap matanya yang kosong, menatap senyumnya yang tanpa arti,
dan sejenak terkesima ketika mengenali senandung kecilnya. Rangkaian
nada yang lekat di benakku, bagaimana tidak, lagu itulah yang membuat
Ardi memohon dengan sangat agar putri sulung kami diberi nama Adelline,
karena dia begitu menyukai instrumen gubahan Paul de Senneville dan
Olivier Toussaint tersebut. Ballad pour Adelline... Astaga... siapa
sebenarnya perempuan ini? Aku memandangnya lekat-lekat, dan teringat
kata-kata Adel...perempuan ini cantik, dia pernah menjadi seorang
perempuan cantik jelita....
Sebelum aku menyadari, tanganku sudah
terulur menyeruak sela-sela jeruji pagar, meraih tangannya yang
tergantung di sisi tubuhnya. Tanpa rasa risih, aku genggam tangannya.
Ada rasa hangat menyusup dalam sanubariku, rasa yang asing dan sulit
kupahami.
"Ardi....Ardi kemana...." Samar kudengar suaranya
berbisik. Sesaat aku gamang, detik berikutnya kesadaranku pulih.
Kutarik tanganku kuat-kuat, lalu kukibaskan sekuat tenaga. Aku melihat
mata kosong itu penuh air mata. Perempuan itu menangis dan menyebut
nama suamiku. Astaga....sebenarnya aku tengah bermimpi atau tidak?
***
"Apa
maksudmu?" Ardi meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. Menatapku
dengan sorot marah. "Perempuan gila itu menyebut namaku? Lalu dia
menyenandungkan ballad pour adelline yang kebetulan adalah melodi
favoritku? Terus kenapa?"
"Enggak....Mama cuma bingung aja..."
"Bingung
apa? Apa yang Mama pikirkan? Papa ada hubungan dengan perempuan gila
itu? Mikir dong Ma...mikir...dia gila...sudah biasa orang gila ngomel
tidak karuan seperti itu." Ardi menghela napas panjang. "Papa mau
mandi dulu, terus Papa mau jalan-jalan sebentar. Pusing!"
Tidak
seperti biasanya, aku diam tak bereaksi ketika Ardi meninggalkan kopinya
di atas meja begitu saja, melangkah ke kamar tanpa mempedulikanku. Aku
masih diliputi banyak pertanyaan yang sulit untuk kumengerti. Apakah
semua ini hanya kebetulan?
***
Hampir tengah
malam barulah Ardi pulang. Ketika dia masuk ke kamar, aku berbaring
menghadap tembok, sambil membayangkan, apa yang tengah dilakukan lelaki
terkasih itu. Sudah cukup lama kami tidak bertengkar, dan sekali ini,
aku benar-benar marah dengan sikapnya. Demi Toutis, aku tidak ingin
memaafkannya begitu saja. Kudengar dia mengganti bajunya dengan kaos
rumah. Masuk ke kamar mandi sejenak. Kemudian berbaring di sisiku.
Hening. Diam. Aku berpikir tentang dengkur halus yang sebentar lagi
pasti aku dengar. Tetapi tidak, hampir dua puluh menit, tak juga
kudengar dengkur halus itu. Aku mencoba memejamkan mataku, aku harus
tidur. Tetapi kemarahan membuatku sulit untuk jatuh terlelap.
"Ma....."
"Ya."
"Papa mau cerita."
Aku
membuang napas keras. Lalu pelahan berbalik menghadap ke arah Ardi.
Ardi juga berbalik ke sisi kanan tubuhnya. Kami berbaring berhadapan.
Di dalam kegelapan ruang kamar, kami saling memandang.
"Papa sayang Mama..." Bisik Ardi lembut. Diraihnya kepalaku lalu dikecupnya puncak kepalaku lembut. Mataku terasa panas.
"Ya...Mama juga sayang banget sama Papa."
Ardi
menghela napas panjang. "Perempuan itu bernama Adelia." Aku menahan
napasku. Jadi benar, Ardi mengenal perempuan yang berayun di pintu
pagar rumah kami itu. "Dia pernah menjadi kekasih Papa, jauh sebelum
Papa kenal Mama."
"Terus?"
"Ya...kami pacaran sejak masih ingusan. Sejak kecil kami sudah berangan-angan kelak akan menikah setelah sama-sama dewasa."
"Kenapa tidak jadi?"
Suara
Ardi serak ketika menjawab. "Karena memang kami tidak ditakdirkan
untuk bersama." Aku diam, menanti kelanjutan kisahnya. "Satu hari
serombongan pria dari kota datang ke kota kecil kami. Waktu itu kami
baru saja lulus SMA. Kami tengah mempersiapkan diri untuk ikut ujian
masuk perguruan tinggi negeri. Ketika pria-pria itu datang, Adel seolah
silau dengan keberadaan mereka. Salah satu pria itu memikat hatinya,
dan dia memilih untuk memutuskan hubungan dengan Papa. Papa begitu
sakit, kecewa dan juga marah, tetapi tidak berdaya. Adel tidak lulus
ujian masuk PTN, sedang Papa diterima di Bandung. Waktu Papa akan
berangkat ke Bandung, Papa sempat menemui Adel dan saat itu....ah..."
Suara Ardi semakin parau. "Papa bilang padanya, dia sudah sangat
menyakiti Papa, dan sakit hati itu akan terbalas satu saat...entah
bagaimana caranya....pasti ada karma untuk seseorang yang sudah
mengkhianati cinta Papa yang begitu tulus."
"Adel gila. Kenapa dia bisa gila?"
"Pria
itu bajingan....dia hanya mempermainkan Adel. Dia mencampakkan Adel
begitu saja setelah tahu Adel hamil. Waktu itu orang tua Adel
menghubungi Papa, memohon kesediaan Papa untuk menikahi Adel. Gila!
Mereka pikir siapa Papa?"
"Mereka hanya tahu kalau Papa sayang mencintai putri mereka." Bisikku lirih.
"Ya...tetapi hanya lelaki gila yang mau menikahi perempuan yang sudah mengkhianatinya, bahkan hamil karena pengkhianatan itu."
"Ya...."
"Sesudah
itu Papa tidak tahu apa yang terjadi dengan Adel. Orang tuanya membawa
Adel pergi dari desa kami, dan mereka kembali tanpa Adel. Mereka
bungkam, tak mau menjawab apapun ketika ditanya tentang Adel." Ardi
telentang. Matanya terasa nyalang menatap langit-langit kamar.
"Cemara-cemara itu...ballad pour adelline, semua tidak pernah hilang
dari ingatan Papa...bertahun-tahun pernikahan kita, Papa mencoba untuk
menghapus kenangan tentang Adel. Tetapi begitu sulit...." Aku
mendengar suaraku sendiri berbicara, pahit, getir...dan mataku yang
terasa panas mulai basah.
Ardi memelukku, menenggelamkan kepalaku dalam pelukan dada bidangnya. "Ssstttt....itu tidak benar..."
"Ya...semua
benar...bertahun-tahun setelah Adel menghilang, Papa bertahan untuk
tidak pacaran. Hingga akhirnya aku muncul, dan Papa melihat banyak
kemiripan antara aku dengan Adel, terutama...kepiawaianku memainkan
ballad pour Adelline itu....dan nama kami yang hampir sama... Tetapi
Adelia tidak pernah mati dalam pikiran Papa... bahkan cemara-cemara
itu...semua papa tanam karena papa masih mencintai Adelia. Bahkan nama
Adelline itu, bukan terinspirasi nama mama, tetapi nama Adelia...."
Dunia kecilku runtuh, meninggalkan puing-puing tajam yang merajah dan menghujam hatiku. Aku tergugu dalam pelukan suamiku.
"Adelia
pernah ada dalam hidup Papa. Tetapi setelah kita menikah, Adelina Ardi
yang mengisi hati dan hidup Papa...." Bisik Ardi lembut, pelukannya
kian erat merangkum tubuh mungilku.
Isak tangisku perlahan
mereda. Terpeta jelas dalam benakku, sorot mata perempuan itu yang
kosong, senyumnya yang kosong, dan senandung ballad pour adelline
itu....tiba-tiba aku merasa menjadi perempuan paling kejam di dunia.
"Besok
pagi-pagi, tolong papa telpon sekuriti komplek. Minta mereka bantu
kita untuk membawa Adelia ke Lawang. Siapa tahu dia bisa sembuh...
setidaknya...kalau pun tidak sembuh, di sana dia akan mendapat perawatan
yang semestinya."
"Mama....."
"Ya...bagaimanapun Adelia
manusia yang berhak untuk hidup layak. Dan.... bagaimanapun juga....dia
pernah ada dalam hidup Papa, meski meninggalkan luka yang sangat
dalam... Apapun kesalahannya, Mama harus berterima kasih padanya.
Kalau dia tidak membuat kesalahan fatal seperti itu, Mama tidak akan
mendapatkan seorang suami yang begitu hebat dan ayah yang luar biasa
bagi anak-anak Mama."
Ardi mengacaukan rambutku dengan gemas, kebiasaannya sejak kami pacaran. "Huh...lebay tahu...."
***
![]() |
setiap orang punya kisah yang berbeda, tak layak membandingkan kisah kita dengan kisah orang lain, yang bisa kita lakukan hanya bersyukur karena kita diberi kesempatan menjalani sebuah kisah.... |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar