PADA suatu kesempatan, pembesar
Majapahit, Pamandana didekati perempuan gila. Dia memberi isyarat penuh
makna: menjepit jempol tangan kanannya di antara jari telunjuk dan jari
tengah. Kisah ini termuat dalam novel sejarah Majapahit: Bala Sanggrama karya Langit Kresna Hariadi.
Isyarat penuh makna tersebut jelas rekaan
dan anakronisme. Sebab, bukti dari isyarat cabul itu baru terdapat pada
meriam Si Jagur di Museum Fatahillah, Jakarta. Meriam ini terbuat dari
hasil melebur 16 meriam kecil, sebagaimana tulisan Latin pada meriam
itu: Ex me Ipsa renata sVm (dari saya sendiri aku dilahirkan kembali).

Menurut JoĂŁo Guedes, pada 1627 Manuel
Bocarro mengecor beberapa meriam besar yang bisa menembakan proyektil
seberat 50 pound. Semua meriam didedikasikan untuk orang-orang suci: St.
Alphonse, St. Ursula, St. Peter Martyr, St. Gabriel, St. James, Paus
St. Linus dan St. Paul, dan lain-lain. “Selama bertahun-tahun mereka
menjaga Makau dari posisinya di benteng masing-masing,” tulis JoĂŁo
Guedes dalam “Weapons of Yesteryear,” dimuat macaomagazine.net.
Setelah VOC menguasai Malaka, meriam Si
Jagur dibawa ke Batavia pada 1641 dan ditempatkan di Kasteel Batavia
untuk menjaga pelabuhan dan kota.
Menurut Adolf Heuken, SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, meriam Si Jagur memiliki keistimewaan: tangan mengepal dengan ibu jari tersembul di antara telunjuk dan jari tengah. “Mano in fica ini merupakan simbol sanggama,” tulis Heuken.
Mano in fica merupakan simbol hubungan seksual kuno yang berasal dari Italia. Ia berasal dari kata Italia: mano (tangan) dan fica (vulva) yang dalam bahasa Inggris diartikan fig
(buah ara), idiom untuk organ genital perempuan –buah ara bila dibelah
dua seperti kemaluan perempuan. Bagi orang Roma, buah ara berkaitan
dengan kesuburan perempuan dan erotisme; ia sakral bagi Bacchus atau
Dionysus (dewa anggur dan kemabukan).
Mano in fica, tulis Jeanette Ellis dalam Forbidden Rites,
merupakan jimat yang terbuat dari perunggu, perak, karang atau plastik
merah. Ia menggantikan gambar atau patung Phallus (kelamin laki-laki, red) bangsa Pagan, yang dilarang oleh Gereja Katolik Roma.
Menurut symboldictionary.net,
jimat itu digunakan untuk melawan kekuatan jahat dengan keyakinan bahwa
kecabulan berfungsi sebagai pengalih perhatian kejahatan; bahkan setan
menolak gagasan seks dan reproduksi sehingga melarikan diri dari tanda
itu.
Mano in fica pada meriam Si
Jagur pun pernah dianggap dapat memberikan kesuburan. Banyak perempuan
mendatangi meriam berbobot 24 pound atau 3,5 ton itu. Mereka menaburkan
bunga di muka meriam itu setiap hari Kamis. “Mereka mengakhiri ‘upacara’
dengan duduk di atas meriam itu supaya kelak dapat menjadi hamil,”
tulis Heuken.
Untuk membuang takhayul itu, meriam
dipindahkan ke ruang bawah Museum Wayang; sumber lain menyebut ke Museum
Nasional. Museum tetap dikunjungi banyak perempuan yang ingin
mendapatkan anak. Ada kisah lucu: seorang ibu dari Jawa Timur beserta
dua anak perempuannya datang ke museum untuk meminta pertolongan Si
Jagur. Setahun kemudian, dia kembali dengan marah-marah. Sebab, yang
hamil malah putrinya yang belum menikah, bukan yang sudah bersuami.
Pada masa Gubernur Jakarta Ali Sadikin,
meriam Si Jagur dipindahkan ke halaman utara Museum Fatahillah. Kendati
sudah sejak lama tak ada lagi yang meminta kesuburan kepada Si Jagur,
yang membekas di ingatan banyak orang adalah simbol sanggama: mano in fica.
(Historia - Hendri F. Isnaeni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar