Kampoeng Lampion™, Pamornya Sampai Italia dan Inggris - Kampoeng Lampion™ | Pengrajin Lampion | Grosir Lampion | Belanja Lampion | Jual Lampion

Kampoeng Lampion™ On Facebook



Kampoeng Lampion™, Pamornya Sampai Italia dan Inggris

Pemesanan :
081252265758 << untuk WA bisa langsung klik nomor ini

Pin BB 2A965FF8
www.kampoenglampion.com

“Kualitas boleh diadu dengan yang impor."


Sabtu, 6 Desember 2014, 00:30 Mohammad Arief Hidayat, D.A. Pitaloka (Malang)


Jual Lampion




Pengrajin Lampion


VIVAnews – Menjelang perayaan Natal dan pergantian tahun, perajin lampion di Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur, kebanjiran pesanan. Dengan harga Rp30 ribu sampai Rp2,5 juta per lampion, para perajin menerima pesanan dari berbagai pelosok kota di dalam hingga luar negeri.





Tahun ini, pesanan datang dari berbagai kota di Jawa Timur dan Indonesia hingga Italia. Kawasan yang disebut sebagai daerah Jodipan itu memang dikenal sebagai " KAMPOENG LAMPION " Malang sejak era 1990-an.



Saat ini Kampoeng Lampion sedang mengerjakan pesanan lampion dari Denpasar, Bali, dan Magelang, Jawa Tengah. Dari Denpasar, pemesan meminta dibuatkan lampion warna merah berbentuk hati dengan diameter sekitar satu meter. Satu lampion yang terbuat dari kain polyester dengan rangka besi bisa terselesaikan selama tiga hari.



“Yang (pemesan dari) Denpasar pesan 12 lampion. Satu lampion harganya Rp1 juta. Sekarang proses pengemasan dan segera dikirim.”



Pesanan dari Magelang malah lebih unik dan memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Pemesan meminta memesan 16 lampion dalam bentuk bunga mawar, tulip, dan melati. Lampionnya setinggi hampir dua meter dengan kain warna-warni. Satu lampion dihargai sebesar Rp2,5 juta.






Sejak November sampai Desember, ribuan lampion sudah dibuat untuk memenuhi pesanan para pembeli yang memesan dalam jumlah banyak. “Yang terakhir dari Italia, itu banyak sekali, saya tidak ingat jumlah persisnya. Pemesannya sudah berulang kali beli di sini. Garapan kami sepertinya memuaskan mereka.”



Logo Lampion
Logo Kampoeng Lampion
Tahun ini, pesanan juga datang dari pembeli asal Inggris. Pesanan yang masuk Januari lalu harga per buahnya dibanderol sebesar Rp. 67.000, berbeda dengan harga lokal.



Menurut Kampoeng Lampion, pemesan meminta bahan yang berbeda dari biasanya. “Kainnya pakai kain banner tipis yang jauh lebih mahal, satu meternya saja Rp. 27 ribu. Jadi, memang harganya lebih mahal tiga kali lipat dibandingkan lampion lokal dengan ukuran yang sama,” katanya.




Lampion pesanan Liverpool FC itu menggunakan bahan kain bergambar kuda melambangkan tahun kuda kayu dengan ucapan gong xi fa cai di sisi yang lain. Merek salah satu bir Pilsener yang juga menjadi sponsor klub sepakbola Liverpool FC di Inggris, juga mewarnai sisi lampion yang lain.

Ada 12 perajin yang setiap hari membantu proses pembuatan lampion di outlet Kampoeng Lampion. Pesanan lampion kini bentuknya tidak hanya berupa bulatan atau kapsul. Pemesan meminta lampion berbentuk piring terbang dengan kain dan motif bunga berwarna-warni.

“Ada yang ukuran diameternya 60 sentimenter. Harga bisa lebih mahal jika meminta spesifikasi bahan berbeda. Bahan kainnya saja tidak basah dan tidak rusak kalau terkena hujan. Dalam jumlah banyak rata-rata pesanan bisa kami selesaikan kurang dari satu bulan,” kata Prasetyawan, pekerja di Kampoeng Lampion.

Pesanan dari luar negeri, menurut dia, sudah masuk sejak 2007. Umumnya mereka mengenal Kampoeng Lampion dari berbagai toko seni di Bali. “Perajin lampion Bali sebenarnya juga banyak warga Malang. Tapi, pekerjaan kami di sini jauh lebih rapi dan harganya tidak semahal di Bali. Jadi, banyak yang langsung datang dan pesan ke sini,” katanya.

Proses pembuatan

Proses pembuatan lampion dikerjakan dengan sederhana. Perajin menyusun rangka lampion dari rotan dengan diameter sekitar tiga milimeter. Rotan yang lebih besar digunakan sebagai rangka utama pada lampion. Jika dibutuhkan, perajin juga menggunakan kawat baja pengganti rotan untuk lampion dengan bentuk yang berbeda.

Setelah terbentuk kerangka, badan lampion diisi kain katun yang ditempel menggunakan lem kayu berwarna putih. Pengerjaan lampion berlangsung di kerangka khusus yang memudahkanlampion bisa diputar dan bentuknya tetap terjaga simetris.

“Kalau bulan biasa, satu minggu bisa habis rotan 100 kilogram. Menjelang Imlek, sejak Desember ini, rata-rata habis 150 kilogram setiap minggu,” katanya. 

Walau enggan menyebutkan omzet per bulan, legit industri lampion di Malang sudah dirasakan sejak Prasetyawan bersekolah. Jika sedang tidak sekolah atau libur, dia pasti bekerja membantu membuat lampion di outlet milik sepupunya. Ada puluhan perajin lain di Malang yang berusia setara dengan Prasetyawan.

Terimbas harga bensin

Kampoeng lampion semakin banyak menerima order dari pembeli luar sejak era 2000-an. Awalnya, sekitar tahun 1997, mereka hanya memenuhi pesanan dari Bali. Setelah tragedi Bom Bali pada 2002, banyak perajin yang pulang ke Malang karena permintaan yang melesu di Bali.

Seiring pulihnya pengunjung di Bali, banyak pemesan yang langsung datang Malang. Mereka mulai kebanjiran pesanan dari luar kota hingga luar negeri. Harga yang miring serta kualitas yang disebut tidak kalah dibandingkan lampion impor membuat Kampoeng Lampion banyak diminati pembeli.



Keterampilan membuat lampion diperoleh turun-temurun dari perajin yang lebih awal singgah di Bali. 
Selain penduduk asli, juga banyak digunakan sebagai kampung pendatang dari Madura dan kota lain di Jawa untuk menetap. Ada kelenteng berumur 189 tahun, Eng An Kiong, tak jauh dari Kampoeng Lampion, yakni di Jalan RE Martadinata, atau sekitar satu kilometer arah utara dari Kampoeng Lampion.

“Kualitas boleh diadu dengan yang impor. Soal ketepatan waktu, kami juga tidak pernah meleset. Ada banyak pelajar SMP dan SMA yang sering bantu membuat. Sistemnya borongan dengan mereka,” katanya.

Namun di akhir tahun ini, pengusaha lampion harus mulai menata harga dan pengeluaran akibat harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi naik di tengah November lalu. Sebab, harga berbagai bahan baku mulai kain, rotan, kawat besi, dan lem juga ikut merangkak naik.

Para perajin juga harus menaikkan harga lampion buatan mereka, meski kenaikan harga tak sedrastis harga BBM yang mencapai 20 persen. “Naik sekitar Rp5.000 hingga Rp10 ribu per buah. Kalau terlalu tinggi kawatir pemesan enggan beli,” katanya.


Perajin lampion buatan tangan harus bersaing dengan lampion pabrikan impor asal Tiongkokyang banyak dijumpai di berbagai toko serba ada di Kota Malang. “Keunggulan kami ada di kualitas dan kreativitas bentuk lampion. Tapi kalau harga terlalu tinggi, kami kawatir dampaknya jelek ke usaha,” kata Prasetyawan. (art)

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar




Pages